Zonaperistiwa Surabaya– Perwakilan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memutuskan untuk menunda eksekusi rumah di Jalan Dr Soetomo No.55, Surabaya, pada Kamis (27/2/2025). Keputusan ini diambil di tengah aksi protes ratusan massa yang menolak penggusuran rumah tersebut.
David Andreasmito, Pembina Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Jatim, menjelaskan bahwa rumah tersebut awalnya diberikan sebagai hadiah oleh sang ayah, Laksamana Soebroto Joedono, yang merupakan Panglima Armada Nusantara.
“Rumah ini telah ditinggali oleh keluarga Ibu Tri sejak 1963 dengan surat izin. Kemudian, rumah ini dibeli secara lunas pada tahun 1972 dengan harga sekitar Rp400 juta saat itu,” terang David.
Namun, pada 1991, muncul gugatan dari Hamzah Tedjakusuma yang mengklaim kepemilikan rumah tersebut dengan dasar sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 651/Kelurahan Soetomo. Setelah melewati proses hukum, pada 1997 gugatan tersebut dimenangkan oleh Tri karena masa berlaku HGB yang dijadikan bukti telah habis sejak 1980.
Sengketa berlanjut ketika Rudiantoro, yang membeli surat tanah dari istri Hamzah pada 2008, kembali menggugat Tri. Meski kembali dimenangkan oleh Tri pada 2010, kasus ini tak kunjung berakhir.
Pada 2013, Rudiantoro justru dinyatakan sebagai tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) setelah terungkap adanya dugaan pemalsuan dokumen terkait kepemilikan tanah tersebut.
Namun, meskipun berstatus buron, Rudiantoro masih sempat menjual surat tanah kepada Handoko Wibisono pada 2016. Transaksi inilah yang memicu dugaan
David menilai keputusan ini sangat janggal, mengingat sebelumnya kepemilikan Handoko atas tanah tersebut berasal dari transaksi yang melibatkan tersangka kasus pemalsuan dokumen.
“Handoko ini dilaporkan ke Bareskrim pada September 2024. Kami menduga eksekusi ini dilakukan dengan terburu-buru karena pihak-pihak yang terlibat tahu bahwa kasus ini akan naik ke tahap penyidikan,” ujar David
Disisi lain Heru Maki Jatim Penundaan eksekusi di Surabaya mendapatkan apresiasi, meskipun harapan utama tetap agar Jawa Timur tetap jaya dalam proses hukum yang berkeadilan. Langkah hukum terus dilakukan, termasuk dengan melaporkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Yudisial.
Surat permohonan penundaan eksekusi telah dikirimkan ke Pengadilan Negeri Surabaya pada 25 Februari lalu. Selain itu, permintaan klarifikasi juga telah diajukan kepada pihak terkait. Surabaya Pusat sempat mengkaji kondisi sosial yang berkembang di Jawa Timur sebelum mengambil langkah lebih lanjut.
Sementara itu, terdapat proses hukum yang terus berjalan, termasuk penyelidikan oleh kepolisian terhadap tersangka dalam kasus ini. Salah satu yang menjadi sorotan adalah keterlibatan seorang notaris, Sucianti Handoko. Dalam putusan majelis hakim, yang memenangkan salah satu pihak berdasarkan keterangan notaris tersebut, muncul kritik bahwa seharusnya kasus ini diperiksa oleh Majelis Kehormatan Notaris, bukan oleh majelis hakim biasa.
Dalam perkembangan terbaru, laporan mengenai dugaan penyimpangan putusan telah diajukan. Minggu depan, tersangka baru dalam kasus ini kemungkinan akan ditetapkan. Komisi III DPR juga akan menggelar rapat dengar pendapat terkait kasus ini guna memastikan proses hukum berjalan sesuai ketentuan.
Dari sisi perlawanan hukum, gugatan telah diajukan di Pengadilan Negeri Surabaya. Proses ini akan terus dikawal oleh berbagai pihak, termasuk pemantauan dari aspek sosial dan hukum yang lebih luas.
Keputusan PN Surabaya untuk menunda eksekusi menjadi momentum bagi para aktivis dan masyarakat untuk terus menekan pihak terkait agar kasus ini diselesaikan dengan transparan dan adil.
Seiring dengan perkembangan kasus ini, masyarakat diminta untuk terus memantau dan mengawal jalannya proses hukum, agar tidak ada lagi praktik mafia tanah yang merugikan rakyat kecil.(red)
Editor : Redaksi zonaperistiwa