zonaperistiwa.com skyscraper
zonaperistiwa.com skyscraper

Efisiensi Anggaran, Transparansi dan Komunikasi 

avatar zonaperistiwa.com
Hari Pers Nasional 2025

Zonaperistiwa Surabaya - sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Negara selama lima tahun, saya banyak mengetahui bahwa memang anggaran belanja di Kementerian/Lembaga dan Badan memang harus dievaluasi. Untuk satu tujuan: Efisiensi. 

Agar lebih tepat sasaran. Lebih dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. Dan tidak menguap begitu saja melalui kegiatan yang dilakukan agar anggaran sekadar terserap.  

Saya orang yang setuju dilakukan efisiensi belanja dan penggunaan APBN. Mengingat Fiskal Indonesia masih dalam keadaan defisit. Dan tradisi penyusunan pos belanja dan penggunaan APBN dari tahun ke tahun nyaris sama. Seolah sudah ada template yang tinggal diisi. Hanya angkanya yang berbeda. Makin naik dari tahun ke tahun, dengan landasan argumen: Inflasi.   

Padahal, di sektor swasta berlaku adagium: tidak berubah mati. Tidak adaptasi mati. Artinya tidak boleh mengandalkan template masa lalu. Tetapi harus menyusun dan menyusun terus strategi perubahan yang baru. Karena tidak berubah akan tergilas. Tidak menyesuaikan diri akan hanyut. Begitulah beratnya mengelola bisnis di sektor privat.  

Tetapi mengapa kemudian kebijakan yang memang harus dilakukan, dan jarang ditempuh pemerintahan sebelumnya justru menimbulkan reaksi yang bermuara kepada penolakan? Sampai disambut aksi dengan tagar Indonesia Gelap? 

Sepertinya ada dua persoalan mendasar yang mengiringi kebijakan efisiensi anggaran ini yang kurang tuntas dilakukan pemerintah. Pertama, adalah transparansi. Kedua, komunikasi dengan pesan yang utuh dan sampai tanpa bias.  

Transparasi

Kita sebaiknya jujur dan terbuka saja. Di Kementerian/Lembaga dan Badan, hampir setiap tahun nomenklatur belanjanya sama. Sebut saja pos bimbingan teknis, kajian, rapat koordinasi, konsolidasi biro, konsinyering dan lain sebagainya. Itu semua dari jaman apa sampai jaman apa ya tetap ada. Karena templatenya sudah begitu.   

Coba saja kita minta data ke FITRA, sebuah LSM yang fokus mencermati anggaran belanja pemerintah. Berapa banyak temuan FITRA yang sudah dipublikasikan terkait praktek permainan anggaran, mark up biaya dan kegiatan fiktif yang terjadi di sejumlah kementerian dan lembaga. 

Saya sendiri pernah melansir, adanya fakta di sebuah kementerian --tidak perlu saya sebut, meskipun sudah pernah diberitakan juga di sejumlah media. Ada pos belanja Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang mencapai angka 287 Milyar Rupiah. Hampir setara dengan belanja pembangunan APBD Kabupaten Mukomuko selama satu tahun, yang hanya sebesar 359 Milyar Rupiah (data tahun 2020).  

Inilah yang kemudian memicu perasaan ketidakadilan fiskal bagi masyarakat di daerah. DimanaAPBN terdistribusi untuk Pemerintah Pusat sekitar 64 persen, sementara Pemerintah Daerah sekitar 36 persen. Dengan Proporsi Beban Jumlah Pegawai yang ditanggung Pemerintah Daerah sebesar 78 persen, sedangkan Pemerintah Pusat hanya 22 persen. 

Jadi transparansi terhadap latar belakang efisiensi anggaran ini harus dibuka ke rakyat sebagai pembayar pajak. Memang akan sedikit mencoreng muka sendiri. Bahwa banyak kegiatan yang sebenarnya bisa dihilangkan. Terutama kegiatan yang tidak secara langsung dirasakan masyarakat. Apalagi ditambah fakta kebocoran dimana-mana.  

Harus dibuka. Bukankah Presiden Prabowo ingin memastikan kebocoran anggaran belanja dihilangkan? Soal sedikit mencoreng muka kementerian/lembaga ya tidak apa-apa, kan yang penting hasilnya.  

Bukankah Bappenas dan kementerian punya tolok ukur outcome dari penggunaan anggaran? Ukur dan buka saja. Apa outcome dari rakor, kajian, bimtek, konsolidasi, konsinyering dan lain-lain itu terhadap pembangunan? 

Belum lagi jika kegiatan itu digelar di ballroom-ballroom hotel bintang lima yang gedungnya dimiliki perorangan dan manajemennya dikelolakan kepada group manajemen hotel milik asing. Kemana uang yang dibelanjakan di hotel itu?

 Komunikasi 

 Faktor yang tidak kalah penting adalah komunikasi yang memastikan bahwa pesan tersampaikan secara utuh. Dimana paling krusial adalah belanja yang langsung ke masyarakat atau pelayanan publik tidak dihapus. Ini penting. Sehingga tidak terjadi salah tangkap dan salah informasi. 

Misalnya, efisensi anggaran di Kementerian Pendidikan. Di masyarakat beredar informasi bahwa efisiensi menyasar belanja pelayanan Pendidikan. Padahal yang diefisiensikan adalah kegiatan-kegiatan yang berada di template ‘lama’ yang isinya itu ke itu saja dari tahun ke tahun. Dan tidak ada hubungannya dengan belanja Pendidikan langsung ke sekolah atau kampus.  

Pemerintah seharusnya memiliki saluran komunikasi yang paling efektif. Karena itu sudah seharusnya mampu menjelaskan secara detil apa yang dirancang. Apa latar belakangnya, dan bagaimana aksi atau langkahnya. Serta tujuan akhirnya akan dirasakan kapan. Sehingga rakyat punya hope. Dan tidak terombang-ambing dengan informasi yang simpang siur.  

Tidak perlu juga pakai jasa para buzzer, yang hanya akan menambah kegaduhan. Karena saluran yang digunakan di medsos memang memberi ruang untuk saling serang. Sehingga kita justru terjebak dengan perang retorika dan persuasi saja. Lebih penting menjelaskan secara utuh pesan dan memastikan pesan tersebut sampai ke masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan catatan: tidak simpang siur juga antar kementerian/lembaga.  

Terakhir, perlu dijelaskan juga, bahwa pilihan melakukan efisiensi belanja APBN ini adalah pilihan untuk mengurangi utang dalam menutup defisit anggaran. Apalagi setiap tahun, termasuk tahun 2025 ini, pemerintah harus membayar jatuh tempo cicilan utang pokok dan bunga tahunan, yang angkanya tidak kecil. 

Jadi, efisiensi belanja yang tidak terlalu perlu. Atau pos belanja ‘ala-ala’ itu harus menjadi tradisi dan semangat kita semua. Bahkan harus menjadi tugas besar para penyusun Rancangan APBN di tahun 2026 nanti. 

Tetapi di sisi lain, ada baiknya mulai dikaji bagaimana gaji pokok dan tunjangan para ASN yang relatif kecil itu dipikirkan. Sehingga mereka tidak berharap kepada SPPD atau uang-uang tambahan dari kegiatan-kegiatan yang melekat di kesekjenan masing-masing kementerian/lembaga. (Red)

Editor : Redaksi zonaperistiwa