Zonaperistiwa Surabaya - Jumlah guru besar yang dimiliki Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) terus bertambah. Kamis (03/07) Prof. Dr. M. Syahrul Borman, S.H., M.H. dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ilmu Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Fakultas Hukum universitas berpredikat Kampus Kebangsaan dan Kerakyatan ini.
Pengukuhan Syahrul sebagai guru besar Unitomo ke-24 berlangsung di Auditorium Ki Mohammad Saleh Lantai 5 gedung F kampus Unitomo di Kompleks Taman Pendidikan Dr. Soetomo Jalan Semolowaru Surabaya. Acara dipimpin rektor Unitomo Prof. Dr. Siti Marwiyah, SH, MH -- yang kebetulan juga merupakan istri Syahrul, dihadiri kepala L2Dikti Wilayah VII Prof. Dr. Dyah Sawitri, S.E., M.M, pimpinan Yayasan Pendidikan Cendekia Utama (YPCU, badan hukum penyelenggara Unitomo), para dosen dan karyawan di lingkungan Unitomo, sejumlah tamu dari kalangan praktisi dan akademisi ilmu hukum, serta keluarga besar pasangan Syahrul dan Siti Marwiyah. Tampak hadir mantan Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD, yang tidak lain merupakan kakak kandung Siti Marwiyah.
Ada Hakim Tak Terlihat, Jadikan MK Tak Lebih Mahkamah Kalkulator
Dalam orasinya seusai dikukuhkan, Syahrul menyampaikan pandangannya untuk melakukan modernisasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, khususnya terhadap ketentuan Pasal 74 Ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengatur bahwa permohonan atas perselisihan hasil pemilu Presiden harus sudah diajukan paling lama 3 X 24 jam terhitung sejak KPU mengumumkan hasll pemilu secara nasional. "Ditambah lagi, di Pasal 78, juga ada ketentuan bahwa putusan MK mengenai permohonan atas perselisihan itu sudah harus diputus selama-lamanya 14 hari terhitung sejak permohonan itu tercatat dalam buku registrasi perkara di MK", ujar Syahrul.
Menurut Syahrul, adanya batasan waktu yang pendek bagi pemohon untuk bisa mengajukan perkara, serta waktu bagi para hakim MK untuk memutus perkara yang dibatasi maksimal hanya 14 hari kerja, membuat harapan untuk mencapai keadilan substantif menjadi sulit untuk bisa dipenuhi. "Dalam waktu yang sependek itu, para hakim MK akan lebih disibukkan untuk sekedar menilai selisih suara, tanpa memperhatikan proses bagaimana suara itu didapat yang sebenarnya jauh lebih substantif", ujarnya.
Ketika ribuan formulir rekapitulasi dan log digital dari seluruh wilayah negara yang demikian luas ini harus diteliti dalam masa persidangan yang hanya 14 hari kerja, tambah Syahrul, maka waktu akan menjadi "hakim tak terlihat" yang mungkin memang mampu mencapai kedilan prosedural, tapi abai terhadap keadilan subtantif. "Saya berharap DPR sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk membuat UU, bisa segera mengambil langah-langkah untuk mengubah ketentuan ini, yang telah membuat MK -- oleh sebagian kalangan ahli hukum tata negara -- dijuluki telah menjadi tak ubahnya Mahkamah Kalkulator", ujar Syahrul.
Ia menyarankan, masa pendaftaran jika ada perselisihan atas hasil pemilu bisa diperpanjang waktunya dari 3 hari menjadi 2 minggu sejak ditetapkan oleh KPU agar pemohon memiliki waktu cukup untuk menyampaikan dalil-dalil berdasar data di lapangan. "Begitu pun masa persidangan yang saat ini dibatasi selama-lamanya 14 hari harus sudah diputus, diperpanjang menjadi 6-7 bulan. Ini tetap tidak akan mengganggu jadwal pelantikan yang sudah ditetapkan KPU", pungkas Syahrul.,(red)
Editor : Redaksi zonaperistiwa